Memainkan Melodi Sang Inspirasi!

Hidup dalam Koma



Matahari bersinar redup menerangi jalanan kota Jogja hari itu. Jalan yang luas tak begitu padat dipenuhi kendaraan. Pohon-pohon rindang yang berdiri di kanan kiri jalan bergoyang bersama dalam tarian angin merdu yang menyapanya. Daun yang lelah melayang di udara sebelum jatuh di atas aspal trotoar. Burung-burung kecil mengepakan sayapnya, terbang berkelompok dipayungi awan mendung. Gedung-gedung lama berbisik menebar bau bersejarah tentang kota itu. Semua suasana sendu itu mengiringi langkah berat kakiku pulang menuju kosanku.
Aku begitu lelah hari itu. Tas di punggungku tersa lebih berat dari biasanya. Buku-buku pelajaran yang kupeluk terasa menekan erat dadaku, membuat semuanya terasa sesak. Tugas kuliah, nilai ipkku yang tak memuaskan, uang semester, uang praktek, uang kosn, kemelut organisasi dan semua masalah yang tak bisa kuingat di atas masalah-masalahku itu membuatku ingin sekali menjerit dalam keramaian kota ini.
Lelahku diatas beban masalahku mengharuskanku untuk terus berjalan. Kuingin segera berada di dalam kamarku, bercerita dengan teman sekamarku, Resti. Namun, semua keinginanku untuk bercerita hilang sudah saat hpku bordering. Kulihat display hpku, tertera nama Resti memanggilku. Kuangkat hpku.
“Fan, aku harus pulang ke Malang sekarang, ayahku sakit.” Suara Resti terdengar bergetar di seberang sana. 
“Iya, hati-hati, Res.” Aku tak tahu apa yang harus kuucapakan saat keadaan menuntutku berkata yang tak sesuai keinginanku. Tapi aku harus mendengar kata hatiku, memendam sementara egoku.

Resti menutup sambungan telepon kami. Bisa kubayangkan betapa galau juga hatinya.
Aku melanjutkan langkahku. Keringatku menetes deras di sekujur tubuhku. Bisa kubayangkan pucatnya wajahku saat itu. Aku berjalan menyebrangi jalan yang cukup sepi. Sepinya jalanan membuatku lupa untuk berhati-hati. Deru mesin motor menggaung di dalam pikiranku. Teriakanku menggema di hatiku tak sempat terlontar oleh bibirku. Tubuhku terhempas di atas aspal jalan. Tak kuingat apa yang terjadi setelah itu, salain rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhku.
Aku terbaring di atas tempat yang sangat dingin dan di dalam ruangan yang begitu sepi, sunyi. Kesunyian di tempat itu membuatku menyadari bahwa aku hanyalah seorang diri di tempat itu. Aku tak tahu itu di mana. Tempat itu terasa begitu asing bagiku.
“Bangun, Fantri! Bangun!” Aku berkata pada diriku sendiri.
Kucoba  membuka kedua mataku. Tapi entah mengapa kelopak mataku terasa berat untuk kubuka. Kucoba dan terus kucoba, namun semuanya sia-sia. Saraf mataku menolak perintah otakku untuk membuka kedua kelopak mataku. Kucoba gerakan tangan dan kakiku tapi itupun sia-sia. Semua sarafku menolak perintah otakku.
Aku hanya bisa diam. Tempat itu semakin dingin kurasa. Telingaku mencari suara lain selain suara detak jantung dan suara hatiku sendiri..
“Mamah, Papah!” Rintih hatiku memanggil kedua orang tuaku.
Pendengaranku masih bisa menangkap suara-suara dalam sepi yang ada di sekelilingku. Sunyi. Tapi aku yakin dengan suara yang kudengar. Suara wanita yang sangat aku kenal, suara wanita terhebat, wanita yang sangat aku sayangi.
“Mamah, kenapa nangis. Aku gak apa-apa.” Ucap hatiku menjawab isak tangis ibuku.
“Maaf Pak, Bu, kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, tetaplah optimis. Keajaiban itu masih sangat mungkin terjadi.” Suara laki-laki yang tidak aku kenal bicara kepada kedua orang tuaku sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan dimanaku terbaring.
“Sabar Mah, Fantri pasti kuat. Kita harus ikhlas apapun keputusan-Nya nanti” Aku bisa mendengar kegetiran dalam ketegasan bahasa Papah.
Udara di sekelilingku semakin dingin. Gelap. Tapi aku melihat sebuah cahaya yang datang mendekat. Cahaya yang membuatku melihat kembali ke belakang, melihat rekaman video masa laluku. “Apa ini?” bisiku pada hatiku.
“Mamah, Papah sayang kamu. Apapun yang terjadi sama kamu, itu yang terbaik menurut-Nya. Kami ikhlas” Mamah berbisik sambil menggenggam tanganku.
Hangat menjalar di tubuhku ketika kurasakan kecupan sayang di keningku. Hangat, sehangat  matahari pagi menyambut pagiku di hari kemarin. Bahkan mungkin lebih hangat dan menenagkan.
“Kami ikhlas sayang....” Kini suara Papah kudengar menenangkanku. Dan entah mengapa aku merasa jauh lebih tenang mendengarnya. Seperti biasa, kata-kata Papah selalu bisa menenangkanku.
 Film masa laluku terus berputar dengan cepat. Secepat itukah waktu yang telah kulalui berlalu. Cahaya itu semakin terang, semakin mendekat. Aku seperti berjalan di sebuah lorong dingin yang tak kukenal. Semakin menjauh dari tempaku terbaring. Semakin menjauh dari keberadaan orang tuaku. Tapi aku masih bisa mendengar Papah menuntunku mengucap janji agung, walaupun ia yakin lisanku beku untuk melafalkan kalimat syahadat. Di saat itu, hatiku tergerak mengikuti ucapan papah untuk melafalkan kalimat itu. Menyempurnakan hidupku yang diawali dengan adzan dan mengnakhirinya dengan lafadz agung, syahadat.
“Aku sayang Mamah, Papah. Maafin aku.”

4 komentar:

 

About