Matahari
bersinar redup menerangi jalanan kota Jogja hari itu. Jalan yang luas tak
begitu padat dipenuhi kendaraan. Pohon-pohon rindang yang berdiri di kanan kiri
jalan bergoyang bersama dalam tarian angin merdu yang menyapanya. Daun yang
lelah melayang di udara sebelum jatuh di atas aspal trotoar. Burung-burung
kecil mengepakan sayapnya, terbang berkelompok dipayungi awan mendung.
Gedung-gedung lama berbisik menebar bau bersejarah tentang kota itu. Semua
suasana sendu itu mengiringi langkah berat kakiku pulang menuju kosanku.
Aku
begitu lelah hari itu. Tas di punggungku tersa lebih berat dari biasanya.
Buku-buku pelajaran yang kupeluk terasa menekan erat dadaku, membuat semuanya
terasa sesak. Tugas kuliah, nilai ipkku yang tak memuaskan, uang semester, uang
praktek, uang kosn, kemelut organisasi
dan semua masalah yang tak bisa kuingat di atas masalah-masalahku itu membuatku
ingin sekali menjerit dalam keramaian kota ini.
Lelahku
diatas beban masalahku mengharuskanku untuk terus berjalan. Kuingin segera berada
di dalam kamarku, bercerita dengan teman sekamarku, Resti. Namun, semua
keinginanku untuk bercerita hilang sudah saat hpku bordering. Kulihat display
hpku, tertera nama Resti memanggilku. Kuangkat hpku.
“Fan,
aku harus pulang ke Malang sekarang, ayahku sakit.” Suara Resti terdengar
bergetar di seberang sana.
“Iya,
hati-hati, Res.” Aku tak tahu apa yang harus kuucapakan saat keadaan menuntutku
berkata yang tak sesuai keinginanku. Tapi aku harus mendengar kata hatiku,
memendam sementara
egoku.
Resti
menutup sambungan telepon kami. Bisa kubayangkan betapa galau juga hatinya.
Aku
melanjutkan langkahku. Keringatku menetes deras di sekujur tubuhku. Bisa kubayangkan
pucatnya wajahku saat itu. Aku berjalan menyebrangi jalan yang cukup sepi.
Sepinya jalanan membuatku lupa untuk berhati-hati. Deru mesin motor menggaung
di dalam pikiranku. Teriakanku menggema di hatiku tak sempat terlontar oleh
bibirku. Tubuhku terhempas di atas aspal jalan. Tak kuingat apa yang terjadi
setelah itu, salain rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhku.
Aku
terbaring di atas tempat yang sangat dingin dan di dalam ruangan yang begitu
sepi, sunyi. Kesunyian di tempat itu membuatku menyadari bahwa aku hanyalah
seorang diri di tempat itu. Aku tak tahu itu di mana. Tempat itu terasa begitu
asing bagiku.
“Bangun,
Fantri! Bangun!” Aku berkata pada diriku sendiri.
Kucoba
membuka kedua mataku. Tapi entah mengapa
kelopak mataku terasa berat untuk kubuka. Kucoba dan terus kucoba, namun
semuanya sia-sia. Saraf mataku menolak perintah otakku untuk membuka kedua
kelopak mataku. Kucoba gerakan tangan dan kakiku tapi itupun sia-sia. Semua
sarafku menolak perintah otakku.
Aku
hanya bisa diam. Tempat itu semakin dingin kurasa. Telingaku mencari suara lain
selain suara detak jantung dan suara hatiku sendiri..
“Mamah,
Papah!” Rintih hatiku memanggil kedua orang tuaku.
Pendengaranku masih bisa menangkap suara-suara dalam sepi
yang ada di sekelilingku. Sunyi. Tapi aku yakin dengan suara yang kudengar. Suara
wanita yang sangat aku kenal, suara wanita terhebat, wanita yang sangat aku
sayangi.
“Mamah, kenapa nangis. Aku gak apa-apa.” Ucap hatiku
menjawab isak tangis ibuku.
“Maaf Pak, Bu, kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa
lagi. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, tetaplah optimis. Keajaiban itu
masih sangat mungkin terjadi.” Suara laki-laki yang tidak aku kenal bicara
kepada kedua orang tuaku sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan dimanaku
terbaring.
“Sabar Mah, Fantri pasti kuat. Kita harus ikhlas apapun
keputusan-Nya nanti” Aku bisa mendengar kegetiran dalam ketegasan bahasa Papah.
Udara di sekelilingku semakin dingin. Gelap. Tapi aku
melihat sebuah cahaya yang datang mendekat. Cahaya yang membuatku melihat
kembali ke belakang, melihat rekaman video masa laluku. “Apa ini?” bisiku pada hatiku.
“Mamah, Papah sayang kamu. Apapun yang terjadi sama kamu,
itu yang terbaik menurut-Nya. Kami ikhlas” Mamah berbisik sambil menggenggam
tanganku.
Hangat menjalar di tubuhku ketika kurasakan kecupan
sayang di keningku. Hangat, sehangat matahari pagi menyambut pagiku di hari kemarin.
Bahkan mungkin lebih hangat dan menenagkan.
“Kami ikhlas sayang....” Kini suara Papah kudengar menenangkanku.
Dan entah mengapa aku merasa jauh lebih tenang mendengarnya. Seperti biasa,
kata-kata Papah selalu bisa menenangkanku.
Film masa laluku
terus berputar dengan cepat. Secepat itukah waktu yang telah kulalui berlalu.
Cahaya itu semakin terang, semakin mendekat. Aku seperti berjalan di sebuah
lorong dingin yang tak kukenal. Semakin menjauh dari tempaku terbaring. Semakin
menjauh dari keberadaan orang tuaku. Tapi aku masih bisa mendengar Papah
menuntunku mengucap janji agung, walaupun ia yakin lisanku beku untuk
melafalkan kalimat syahadat. Di saat itu, hatiku tergerak mengikuti ucapan
papah untuk melafalkan kalimat itu. Menyempurnakan hidupku yang diawali dengan
adzan dan mengnakhirinya dengan lafadz agung, syahadat.
“Aku sayang Mamah, Papah. Maafin aku.”
Fantri knapa???
BalasHapuslagi galau,yia???
semangat..
:)
ngeri fantriiii
BalasHapusNgeri apanya? haha...
HapusGalau??? haha...ini cerpen SMA ka
BalasHapus