Bis kota yang kutumpangi merangkak di atas jalan
raya Kota Jakarta. Lebarnya jalan raya tak mengurangi sedikitpun kemacetan Kota
Metropolitan ini. Setiap hari aku pulang
kuliah dengan bis penuh sesak. Tidak melihat siapa, wanita, anak-anak, tua atau
muda berdiri berdesakan berlomba dalam memperebutkan setiap millimeter ruang
bis yang tersisa. Asap rokok pemuda
penumpang bis dengan mudah terhirup
masuk ke setiap paru-paru. Suara pedagang asongan dan pengamen menambah bising
suasana di dalam bis itu. Aku yang duduk di kursi paling belakang bis itu,
hanya bisa diam dalam kelelahanku. Lima tahun sudah aku hidup dalam oksigen
penuh polusi di kota ini untuk meraih cita-citaku.
Setiap hari kulewati waktu yang berguling dan tak
membawa sedikitpun perubahan tentang
caraku memandang kota ini. Jakarta, masih sama seperti lima tahun yang lalu
ketika aku datang di gerbang kampus idamanku membawa sejuta harapan untuk
memulai hari baru, kisah baru, perasaan baru dan meninggalkan semua lembaran
usang yang telah terajut di hariku yang lalu. Namun, semuanya tak semudah yang
kukira. Aku fikir, detik, kilometer, dan suasana akan merubah segalanya.
Ternyata aku salah. Aku tetaplah aku yang dulu. Seperti Jakarta yang tak pernah
berubah, perasaankupun tetap tak berubah Aku masih menyayangi perempuan yang
berada puluhan kilometer dari kotaku ini.
Kutatap deretan mobil yang merayap dari balik kaca
jendela bis. Bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku tak bisa melupakan
perempuan itu. Kukira Jakarta bisa buatku melupakannya.Di mana perempuan
Jakarta yang banyak dibilang cantik, aku tak melihatnya. Aku hanya bisa melihat
bayangan perempuan yang kurindukan itu di setiap pandanganku, Ayu namanya.
Aku masih ingat jelas pembicaraan terakhir kami
ditelepon satu tahun setelah aku tinggal di kota ini. Semuanya hanya masalah
komunikasi diantara kami.
“Maafin saya kalau selama ini saya belum bisa
ngertiin kamu.” Suara Ayu terdengar bergetar. Namun aku tetap terdiam.
“Kalau kamu cape dengan semua ini,” Dia berhenti
sejenak, namun tak lama dia berkata lagi, “Cukup sampai di sini saja.” Kami
sama-sama terdiam, beku.
“Ari?” Dia memanggil namaku. Aku yakin dia menunggu
jawabanku. Tapi sungguh aku tak bisa berkata apa-apa. Aku bungkam.
“Jaga diri kamu baik-baik, Ri. Aku sayang kamu.”
Belum sempat aku berkata, sambungan telefon kami terputus.
“Aku juga.” Aku berkata berharap ia mendengarnya.
Sejak hari itu dia tidak bisa dihubungi lagi.
Aku bertekad melupakannya tapi ternyata sampai saat ini aku belum berhasil.
Tapi harus kuakui aku selalu tersenyum saat mengingatnya.*** Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar