Memainkan Melodi Sang Inspirasi!

Romantisme Dua Bintang


Cantiknya sapaan dua bintang itu masih menerangi langkahku menapaki hari tanpanya. Entahlah walau kurasa pahit mengenangnya, tetaplah saja ada sedikit manis yang kurasa bila kubuka lembar-lembar memori berdebu tentang aku dan dia.  Mendalami satu baskom pensieve ingatan, aku dapat tersenyum simpul mengenangya.  Ah.. hujan itu, bintang itu, dinginnya, mengingatkan aku padanya.
(https://syambas.wordpress.com/2011/08/22/patuk-bukit-bintang/)
Rintik hujan Desember memoles cantik malam itu. Tak biasanya aku berlamaan di depan cermin, merias tipis wajahku. Menyapunya dengan polesan  halus make-up. Kubiarkan rambutku tergerai bebas ke punggungku yang membuatku mengagumi diriku sendiri malam itu. Jarang sekali aku berdandan. Tapi malam itu, malam ulang tahunku ke-21, aku ingin sekali melihatnya tersenyum akan persembahan penampilanku yang istimewa hari itu.
Jam tujuh malam hujan berhenti menitik, seperti ia berpihak pada kami, ia hanya meninggalkan jejak-jejak dalam aspal yang membuatnya tercium menyegarkan. Klakson motor Arya menyudahi acaraku dengan sang bayangan di cermin. Aku segera berlari ke luar kosan.
Tepat. Arya sudah menungguku di atas motor kesayangannya di depan pintu gerbang kosanku. Ada kekaguman yang kulihat dari tatapannya ketika melihatku keluar dari gerbang kosan. Tatapannya tentu membuatku kikuk, malu, dan salah tingkah.
“Gak rugi lah aku nunggu lumayan lama. Kamu cantik” Komentarnya ketika aku mendekat hendak menaiku motornya.
Sial. Batinku dalam hati. Ini ejekan atau apa. Sebagai balasan aku hanya mencubit pinggangnya. “Gak usah ngejek.”.
“Hei!!! Siapa yang ngejek tuan putri. Kamu beneran cantik kok. Aku sampai bingung aku harus bawa kamu ke tempat apa kalau dandananmu kayak gini. Kayaknya tempat yang aku pilih ga secantik kamu soalnya.” Arya terkekeh dengan gombalannya sendiri. Lagi, aku kembali mencubit pinggangnya, tak kugubris keluhannya.
Motor yang kami tumpangi membelah Bandung dengan menebarkan tapak senyuman di setiap milimeter aspalnya. Melewati Pasopati yang menyajikan keanggunan gemerlap lembah kunang-kunang tak berkedip dari titik-titik lampu kota. Semakin kencang melaju memecah embun-embun beku pasca hujan, melewati Dago hingga sampai di Bandung atas yang menyajikan lebih banyak lagi kunang-kunang bisu dari lampu-lampu kota..
“Bentar ya..” ucap Arya berucap setelah selesai menghabiskan makan malam di sebuah cafe. Aku hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih banyak.
“Lagu ini biasa aku nyanyikan kalau aku lagi rindu orang yang aku cintai.” Tak lama dari kepergian Arya, aku mendengar suaranya dari arah lain. Ya, ia telah duduk di depan mic di atas panggung sambil membawa gitar. Sontak aku kaget dan tak bisa dipungkiri teramat sangat bahagia.
Ia mulai memetik gitarnya, menyanyikan Lagu Rindu-Kerispatih,membuatku menjadi istimewa di hari itu. “Selamat ulang tahun buat orang yang aku sayangi.” Ia menunjuk ke arahku, “Ranita Larasati.” Dapat dipastikan semua mata di cafe tertuju padaku, menghujani kami dengan tepuk tangan.
Aku mencubit tangan Arya yang bertengger di atas meja ketika baru saja kembali duduk.
“Apa sih kamu, hobi banget nyubit aku. Aku salah apa lagi coba? Gak suka?” Keluhnya becanda.
Aku menggeleng, “Suka.Banget.” Ucapku tersenyum padanya.
“Udah malem, pulang yuk.” Ucap Arya melirik jam tangannya. Akupun mengiyakan, karena hari ini sudah hampir berganti.
Aku memeluk diriku yang nyaris beku karena mengenakan sweater tipis. Arya menyadari hal itu dan memberikan jaketnya sebelum aku beranjak dari tempat dudukku. “Kebiasaan gak make jaket kan.” Keluhnya sambil memasangkan jaketnya di tubuhku.
“Makasih.” Ucapku pasrah padanya setelah duduk di atas motornya. Arya tidak menjawabnya, tapi dari kaca spion motornya aku bisa melihat senyum dan binar kehangatan dari matanya. Sangat hangat.
Malam itu begitu indah dan membekas dalam ingatan. Ada ketidakrelaan untuk mengakhiri malam itu. Pelan aku melangkah membuka pintu gerbang.
“Ran!” Arya memanggilku. Ia tersenyum dan melihat waktu di jam tangannya, “23: 54, detik-detik terakhir. Karena aku mau, aku jadi yang terakhir buat kamu, selamat ulang tahun, Ran.”
Kembali aku diperlakukan istimewa malam ini. Kembali aku dibuat kikuk dan kembali aku dibuat jatuh semakin dalam karena cintanya. Hari yang sempurna.
Bintang malam itu benar menyinari hari kami menitik tinta untuk dikisahkan dalam eloknya senyuman. Sayangnya bintang itu meredup setelah kami lulus kuliah. Arya mendapatkan pekerjaan yang sangat ia idamkan di metropolitan ibu kota. Sedang aku masih ingin meniti karirku di Bandung. Semakin lama nampak semakin asing. Semakin jauh. Aku terus mencoba mempertahankan hubungan kami yang terlalu kusayangkan untuk diakhiri.
“Perhatian kamu itu semu. Di sini ada yang lebih nyata ngasih perhatian ke aku. Aku bosen. Aku mau putus” Ucapnya menamparku di Juli yang gersang.
Saat itu hening beku dalam sambungan telefon kami. Aku masih menimbang-nimbang. Aku tak ingin, tapi terlalu hina untuk memohon cinta, “Ya udah. Kita putus aja.” Ucapku pada akhirnya.
“Kamu gak apa-apa kan? Kamu tenang aja, kita tetap teman dan kemungkinan untuk kembalipun besar. Aku masih sayang kamu.”
Aku benci dengan harapan yang ia tanam dalam luka. Tapi jujur, aku masih berharap ia akan kembali untukku suatu saat nanti seperti janjinya.
Kami memang putus, tapi nampaknya dengan status baru, hubungan kami semakin membaik. Ucapan sayang masih sering ia katakan dalam sms dan telefon-telefonnya. Sampai satu bulan kemudian aku pun tahu, Arya memiliki pacar baru.
“Kamu jadian sama Meta?” Tanyaku pada telefonnya malam itu. “Kenapa gak bilang? Kamu sayang sama dia?”
“Aku cuma bosan aja. Meta gak ada apa-apanya dibandingan kamu. Ada sesuatu yang kamu punya dan sampai saat ini aku belum nemuin itu dari Meta. Aku masih sayang kamu kok Ran.”
“Terus maksud kamu jadian sama Meta apa?” Aku semakin bingung dengan pola pikirnya.
“Aku cuma bosan dan suatu saat nanti aku bakal mutusin dia buat kamu. Aku janji bakalan balik lagi ke kamu. Aku mau cuma kamu Ran, tunggu aku ya.”
Aku semakin dan semakin tak mengerti ke mana jalan pikiran Arya. Sangat tidak rasional. Tapi harapanku tentang janji Arya masih besar dan mengalahkan semua.
Aku diam dan semakin diam dalam penantianku. Menikmati luka yang terus ia perdalam. Semakin hari semakin berharap janjinya akan datang. Aku tau aku bodoh, mungkin aku hanya mengejar fatamorgana dalam kehausan akan cintanya, tapi bagaimana lagi, aku tak rela memori tentang romantisme dua bintang pergi beriringan dengan kebencian akan sikapnya. Aku ingin kamu cepat kembali Ya. Aku selalu berharap dalam perasaan yang mulai tak menentu. Diambang sayang, terselip benih-benih benci.
Satu tahun berlalu sejak aku dan Arya putus. Arya semakin jarang menghubungiku. Dua bulan ini saja ia sama sekali tidak ada usaha untuk menghubungiku. Akupun membalasnya dengan hal yang sama. Aku berusaha untuk pelan-pelan melepaskannya karena aku tau aku belum sepenuhnya rela melepasnya seutuhnya. Aku mencoba untuk tidak menghubunginya, walaupun di sela-sela kekosongan waktu kerja dan istirahatku aku selalu ingin menekan nomornya, mendengarkan suaranya hanya untuk melepas rindu dan menanyakan kabarnya. Semua keinginanku aku kunci dalam hati, biar ia hanya terucap dalam mimpi. Aku harus belajar untuk melupakannya. Aku harus siap dengan kondisi terburuk kalau dia tidak menepati janjinya.
Tak biasanya Maret menitikan hujan. Langit malam dikuasai gelap. Maret yang sunyi, tak seperti Maret empat tahun yang lalu, Maret ketika dua bintang menunjukan romantismenya padaku, Maret di mana aku dan Arya mulai berpacaran.
“Ran, ada yang nyari kamu tuh di luar.” Dian membuyarkan lamuannku.
“Siapa?” Tanyaku bingung karena merasa tidak ada janji dengan siapapun.
“Pangeran yang ditunggu-tunggu.” Dian semakin usil tersenyum padaku.
Aku berpikir dan hanya satu yang aku pikirkan, mungkinkah... “Arya?” Aku bertanya penuh harap dan tepat! Dian mengangguk mengiyakan. “Kamu gak bohong kan?” Aku mulai bersemangat. Semangat yang tak pernah kurasakan lagi satu setengah tahun terakhir ini.   
Aku langsung berlari menuju teras depan dengan terlebih dahulu memantaskan penampilanku. Dengan jantung yang kencang berdegup, aku membuka pintu depan kosan. Punggung itu, aku bisa melihatnya lagi. Hatiku berteriak melihat Arya yang berdiri memunggungiku. Sadar mendengar suara pintu terbuka, Aryapun berbalik menghadapku. Ia tersenyum padaku. Senyum yang lama tak kulihat.
“Gimana kabarmu?” Tanyaku membuka percakapan setelah ia duduk di bangku teras. Banyak sekali perasaan yang ingin kuungkapkan. Tapi status hubungan kami yang tidak lagi berpacaran membuatku harus memilah pertanyaanku.
Arya tersenyum menjawabnya, “Baik. Kamu?”
“Baik” Ah percakapan yang begitu kaku pikirku. Tapi aku sangat menikmatinya.
“Ada yang mau aku omongin, tapi gak di sini. Bisa aku ajak kamu keluar?” Arya berhasil membuatku semakin penasaran. Akupun mengiyakannya.
Dengan motor yang sama seperti kami masih berpacaran, ia membocengku kembali. Kerinduan berada di jok belakang motornya, memandangi punggungnya, mencuri pandang lewat kaca spion sang pengendara, ah... semua yang kurindukan akhirnya bertemu kenyataan kembali. Arya aku kangen banget sama kamu. Ungkapan itu hanya bisa terucap lewat senyum simpul yang kusembunyikan.
Sampailah kami di daerah Bandung atas, duduk di atas hamparan rumput luas yang menghadap ke hamparan kebun kunang-kunang gemerlap lampu kota.
“Kamu tau gak mamah nanyain terus, kapan mau nikah, udah mau 24 tahun kok belum ngenalin calon juga.” Aku mencoba menghangatkan suasana dan terkekeh sendiri mengingat pertanyaan mamah, tapi Arya hanya diam mendengarkan ceritaku.
“Terus kamu jawab apa?” Tanya Arya.
“Ya aku gak jawab apa-apa. Aku mau jawab apa. Orang yang aku tunggu buat hal seserius itu baru nongol sekarang.” Aku tersenyum menatap Arya.
“Maaf ya buat kamu nunggu lama” Arya menatapku dalam.
“Ya gak apa-apalah. Yang penting, malam ini kamu datang menuhin janji kamu buat kembali ke aku. Tau gak, aku selalu percaya kok kamu bakalan datang untuk aku suatu saat nanti dan ternyata aku benar, malam ini kamu datang buat menuhin janji kamu kan?” Aku berkata dengan cerianya membayangkan semua penantianku akan berakhir malam ini. Tapi Arya kembali tertunduk. “Kenapa Ya? Kamu dateng buat menuhin janjimu kembali ke aku kan? Kamu udah putus sama Meta kan?” Kataku akhirnya teringat pacar Arya di Jakarta.
Arya menghela nafasnya berat. Ia menggenggam tanganku dan menatap mataku dalam. “Buat itulah aku ke sini Ran.” Aku menunggu kata-kata berikutnya dengan jantung yang berdegup kencang, bahkan teramat sangat kencang. “Minggu depan aku bakalan nikah sama Meta.” Arya menguatkan genggaman tangannya.
Hatiku terhenyak mendengar ucapannya, berharap dinginnya Bandung malam itu membekukan pendengaranku sehingga apa yang kudengar barusan adalah sebuah kesalahan, “Kamu bilang apa? Kamu becanda ya?” Aku mencoba tetap tersenyum dalam getir.
Arya menggeleng, “Aku gak bercanda Ran.” Penjelasannya membuat hatiku yang baru saja beberapa jam yang lalu mengangkasa karena kedatangannya kini dijatuhkan kembali dari ketinggian yang tak mampu diukur matematika. “Aku sayang kamu, tapi..”
Sakit. Hati ini kembali merasakan sakit, bahkan jauh dari sebelumnya. Arya yang aku tunggu nyaris dua tahun, hari ini datang dengan senyumannya yang menumbuhkan harapan, dan hari ini juga ia bilang dia datang bukan untuk memenuhi janjinya. Desakan bulir air mata mulai tak terbendung. Ia menetes perlahan tanpa ada kuasaku untuk menahannya.
“Maaf? Dua tahun aku tunggu kamu Ya. Gak membuka hati untuk siapapun. Dua tahun aku rela kamu di Jakarta pacaran sama orang lain. Dua tahun juga aku percaya kalau kamu bakalan kembali buat aku. Tapi...” Aku melepaskan tanganku dari genggaman Arya dan tak kuasa melanjutkan lagi kata-kata, aku semakin menangis menjadi, “Aku bodoh. Harusnya dulu aku ga boleh percaya sama janji-janji kamu.”
“Aku gak bohong, aku emang masih sayang sama kamu. Tapi aku ngelakuin kesalahan besar Ran. Dua minggu yang lalu Meta ngelahirin anakku, Ran.” Pernyataan Arya barusan semakin menampar hebat diriku.
Aku tarik tanganku. “Kamu?”. Tak ada lagi kata yang bisa kuucapkan untuk melukiskan emosiku. “Aku mau pulang!”
Aku berdiri dan tak lama aku kuatkan langkahku menuju tepi jalan di mana motor Arya terparkir.Tapi tak lama aku melangkah, Arya menarik tubuhku dan memelukku. “Lepasin.” Aku berusaha melepaskan diriku.
“Maafin aku. Asal kamu tahu, kamu selalu ada dalam ingatanku Ran.” Kata-kata Arya membuat pemberontakanku melemah. Aku tersedu dan semakin keras menangis di pelukannya.
Kamu jahat Arya. Kamu sakitin aku, terus kamu meluk aku. Kamu gak sadar ini makin buat aku sakit. Aku makin takut ketika kamu lepasin pelukan ini aku gak bisa bahagia lagi, walaupun aku tahu dalam pelukanmu saat ini saja aku sudah kehilangan bahagia itu.
Sepanjang perjalanan pulang aku terus tersedu. Sesampainya di kosan, Arya memanggilku namun aku tak memedulikannya, dan saat itulah hari terakhir aku bertemu dengannya. Aku sayang kamu Arya, tapi kenapa cinta kamu begitu gak rasional untuk aku mengerti. Semoga kamu bisa bahagia. Terima kasih untuk cahaya romantisme dua bintang yang sempat aku rasakan hangat dan bahagianya.
-Selesai-

0 komentar:

Posting Komentar

 

About