Pernah ngerasain cinta
monyet kan? Malu-malu kucing plus percampuran antara asem, manis, pedas dan bau
kencur. Emang rujak? Tapi emang gitu kan rasanya? Kalau diingat-ingat sekarang
bisa bikin wajah merah karena malu mengingat kekonyolan tingkah yang masih
bocah atau bikin seyum-senyum sendiri mengenang betapa kanak-kanaknya kita yang
masih kanak-kanak. Sebenarnya ini jauh
lebih baik dari pada anak-anak yang bersikap dewasa.
Hhhmm.. ngomong-ngomong
cinta monyet, pikiranku melayang terbang ke dua belas tahun lalu. Lama banget
ya? Emang iya. Jujur aja, aku melalui masa cinta monyet ini di kelas lima SD. Tapi
bahkan saat itupun aku sadar, pacaran bukan penyelesaian dari masalah hati.
Apalagi mengingat usiaku yang masih terlalu bau kencur. Untuk menyebut perasaan
itu sebagai cinta saja aku tak punya nyali. Jadi saja aku sebut sebut perasaan itu
sekedar suka. Yup! Sesederhana itu. Suka monyet.
Kalau bercerita tentang
suka monyetku, semuanya terjadi tak lepas dari bantuan tangan-tangan takdir
yang menamai dirinya sebuah kebetulan. Kebetulan indah yang datang dari
skenario Allah. Kebetulan bahwa kami duduk di kelas yang sama, kebetulan juga
kami adalah rival memperebutkan posisi pertama di kelas, kebetulan tempat duduk
kami tak berjauhan, dan kebetulan-kebetulan lain yang beranak pinak menjadi
jalan takdir yang membuat kami terpojok saat teman-teman berteriak,
“ccciiieeee”. Ah.. dasar bocah.
Aku masih ingat jelas,
hari itu adalah hari Senin di semester akhir di kelas lima SD. Saat itu aku, Arin,
dan dia, Afa, mengikuti final olimpiade mata pelajaran tingkat kabupaten. Lomba
telah selesai satu jam lalu, tapi mobil sekolah belum datang menjemput kami.
Alhasil dari pada makin lama menunggu, guruku mengajak kami naik becak untuk
sampai ke terminal dan pulang dengan menaiki bis saja.
Skenario takdir yang
kedua adalah, siang itu adalah jam pulang sekolah. Tak banyak becak yang
tersisa. Hanya ada satu becak yang kebetulan lewat. Akhirnya kami berempatpun
berdesak-desakan naik becak. Karena badan Arin lebih besar dari pada badanku,
Arin dipangku guruku. Dapat ditebak bukan siapa yang memangku aku? Yup! Afa
yang memangku aku. Aaaahhh... malu rasanya kalau bertemu Afa sekarang. Aku tak
berani membayangkan seorang Afkar Hafidz (Afa) akan mengingat kejadian konyol
itu.
Kebetulan kedua adalah
saat jam istirahat di suatu Kamis semester pertamaku di kelas enam. Aku masih
mengingatnya, hari itu kami berseragam batik. Tak seperti istirahat biasanya,
aku terlambat keluar kelas saat itu. Kelas sudah hampir kosong, hanya tersisa
beberapa anak yang memilih main dan ngobrol di dalam kelas. Aku hendak keluar
menyusul teman-temanku yang lain. Dengan langkah riang aku bergegas ke luar
kelas. Dan... “BUUKK” aku menabrak seseorang.
Aku tak berani
mengangkat wajahku. Meski begitu, aku tau siapa dia, Afa. Aku menatap perut
gendutnya yang tak sengaja kena tinjuku. Untung tak terlalu keras. Wajahku
memerah meski aku yakin tak ada yang melihat seberapa merahnya karena aku terus
menunduk. Belum padam maluku, teman-teman yang ada di dalam kelas meneriaki
kami, “Cccciiieeee....”
Sebelum lanjut
mengenang kebetulanku yang lain, aku memilih menenggelamkan wajahku ke dalam
bantal terlebih dulu. Ahh.. itu baru setengah dari kebetulan konyolku yang
lainnya tapi sudah bikin wajahku terasa merah panas.
Kebetulan berikutnya
terjadi di hari Sabtuku di kelas enam SD. Aku lupa pastinya itu semester
berapa, tapi yang jelas saat itu adalah jam istirahat setelah olah raga
bersama. Hampir seluruh siswa saat itu ada di luar kelas. Ada yang asik bermain
di rumput, main lompat tali, atau sekedar makan bekal sambil ngobrol.
Kondisinya sangat ramai. Oleh karenanya, hampir dapat dipastikan kejadian ini
dilihat banyak orang.
Aku tengah asyik
bermain gobak sodor dengan teman-temanku. Kali itu giliran timku yang berjaga.
Aku memilih berjaga di garis paling belakang. Permainan baru saja dimulai lagi.
Tentu fokusku adalah melihat gerakan lawan yang gesit menerobos penjagaan garis
depan.
“Ris, awas Kanan Ris,
ada melisa.” Teriaku meminta penjaga garis depan lebih waspada.
Begitu banyak teriakan
di lapangan dan di halaman sekolah saat itu, sehingga akupun butuh dua atau
tiga kali meneriakan hal yang sama. Aku yang terlalu fokus pada permainan
ditambah berisiknya suasana sekolah saat itu, aku tak mendengar ada yang
berteriak ke arahku.
“AWAAAAASSS!!!!!” Aku
tak mendengar Afa berteriak.
Tanpa menoleh
sedikitpun dari permainan dan “BRUUUUKKK” Afa yang bermain sepeda menabrakku.
Kami sama-sama
terjatuh. Untunglah tak ada yang terluka. Afa sempat mengerem dan menahan
sepedanya sebelum menabraku. Jadi tabrakannya tidak terlalu keras. Tapi cukup
membuat kami ditertawakan penghuni sekolah yang menjadi saksi mata kebetulan ke
tiga itu.
“Kenapa gak bilang sih
mau lewat?” Kesalku pada Afa.
“Udah! Kamunya aja yang
ga denger.” Bantahnya membuatku diam. Aku memang mengakuinya, aku terlalu sibuk
dengan permainanku sehingga tidak fokus dengan sekelilingku.
Ini kebetulanku yang
kesekian kalinya. Tapi kebetulan ini memang betul-betul sebuah kebetulan yang
memang sangat kebetulan. Menjelang ujian akhir nasional SD, siswa kelas enam
diberi pelajaran tambahan seminggu tiga kali. Setiap hari Rabu dan Jumat sore
serta Minggu pagi. Di pelajaran tambahan ini, siswa kelas enam diperbolehkan
menggunakan baju bebas. Saat itulah
kebetulan yang direncanakan Allah terjadi. Di hari-hari itu, kami selalu
menggunakan pakaian yang berwarna sama. WOW!!!
Itulah
kebetulan-kebtulan kami. Dari sekian banyak becak, kenapa tidak ada dua becak
yang tersisa. Dari dua puluh lebih siswa kelas enam yang istirahat, kenapa Afa
yang kembali ke kelas dan menabraku. Dari sekian banyak siswa yang bermain di
lapangan dan sekian banyak yang bermain sepeda, kenapa Afa menabraku. Dari tiga
hari dan dua belas warna kenapa kami selalu mengenakan warna baju yang sama di
hari yang sama. Kebetulan nampaknya melupakan probabilitas lainnya. Tapi berkat
itu, aku secara kebetulan menyukainya.
Sembilan tahun berlalu
dari kelulusan kami dari SD aku tak pernah bertemu dengan Afa. Sekedar smspun
tidak. Bagaimana mungkin bisa, setelah lulus SD, Afa melanjutkan sekolahnya ke
sebuah pesantren di Jakarta. Sedangkan aku tetap di Bandung sampai sekarang.
Namun yang aneh dari ketidakjumpaan kami adalah aku tak pernah lupa bahwa aku
menyukainya. Aku juga tak pernah melewatkan tanggal 23 Mei, tanggal ulang
tahunnya. Dari sedemikian dalam perasaanku padanya, aku tak pernah mencoba
mengatakannya atau bahkan sekedar bermimpi bahwa ia akan membalas perasaanku.
Aku boleh saja beranjak dewasa dan bertambah usia. Tapi suka monyetku tak
berubah menjadi cinta Brontosaurus yang dibilang Kak Raditya Dika. Perasaan ini
bersemayam dalam romantisme diam dan dalam kesederhanaan. Seperti itu sejak
dulu. Tak berubah.
Desember 2012. Aku tak
menyangka sebuah pesan masuk lewat facebookku
dari Afa.
“Assalamu’alaykum...
Minta tolong bangunin gue jam 4 ya.” Katanya cuek.
Aku tak membalas chatnya karena ia terlanjur offline. Lagipula akupun terlalu bingung
untuk membalasnya. Aku memilih meninggalkan laptopku tetap menyala dan pergi ke
atap asrama, memandangi hijau pesawahan.
Allah,
sudah sembilan tahun aku tak mendengar kabarnya, tapi perasaan ini tetap Engkau
jaga sedemikian baiknya hingga ia tetap dalam dosis normalnya. Darahku berdesir lebih kencang. Ada
kegairahan yang berteriak tak percaya. Afa kembali. Meskipun baru sekedar
menyapa.
Tak terasa, jam empat
telah lewat. Aku kembali ke leptopku dan menyadari bodohnya aku. Bagaimana
mungkin aku membangunkannya sedangkan aku tak mempunyai nomor telefonnya.
“Maaf, aku lupa
bangunin ente. Lagian aku ga punya nomor ente kan.” Tulisku di chatnya.
“Ga ppa Fan. Gue juga
gak jadi tidur.” Balasnya. “Ini nomor gue.. 08qwertyuuuop” ia menyebutkan
nomornya. Membuatku bingung harus menjawab apa.
Itulah pertama kalinya
Afa menghubungiku. Sejak saat itu, kami mulai dekat. Kedekatan yang menambah
dosis perasaanku padanya. Ia banyak bertanya kabarku, kuliahku, bercerita
perjalananya selama ini dan lain-lain. Hingga di bulan ke enam, tanpa sekalipun
pertemuan denganku, dia mengucapkannya. Hal yang tak pernah aku sanggup untuk membayangkannya. Hal yang ingin kudengar, tapi rasanya itu tak mungkin.
Dan... bukanlah salah kita, hari ini kita kembali diam pada diri kita masing-masing. Aku tak pernah mempesalahkan kamu atau aku yang tetiba pergi. Tetapi, inilah kita yang menjaga prinsip masing-masing. Terima kasih semuanya, terima kasih edelweissnya...:)
Aku pernah menyukaimu dengan sangat sederhana. Terima kasih telah membiarkannya untuk menjadi sebatas kesederhanaan itu.
Aku pernah menyukaimu dengan sangat sederhana. Terima kasih telah membiarkannya untuk menjadi sebatas kesederhanaan itu.
(Sumber : seseorang)
0 komentar:
Posting Komentar