Memainkan Melodi Sang Inspirasi!

Senja Itu, Aku Rindu


     Senja di sore itu begitu cantik. Sang langit merona malu disapa malam, hamparan laut merefleksikan ayunya. Debur ombak berlari memecah karang berkolaborasi dengan ayunan angin sore yang menampar lembut wajahku. Ah suasana ini sangat kurindukan. Sudah lama aku tak menyentuh ombak yang menyapu pasir tempatku dilahirkan ini. Dan hari ini, aku bisa ada di sini menemui tapak-tapak kaki kecilku dulu. Entah apakah esok masih bisa kutapaki tapaku hari ini di tempat ini, atau mungkin tapakku di tempat lain.

     Duduk di atas batu sambil mengingat serpihan klasik kenangan yang terbayang. Senyumku mengembang. Sudah lama aku tak merasakan damai yang memeluku seperti ini.
     "Aw.. " Darah lagi keluhku dalam hati. Bukan hal yang baru kutemui dihariku, tapi tetap saja jika aku boleh meminta, izinkan aku lewati hari ini tanpa sakit apapun. Kuambil tisu dari kantong rokku dan segera membersihkannya.
     "Kenapa Ya?" Umi mengaggetkanku "Astaghfirullah.. Mimisan lagi? Ayo masuk, anginnya ga enak di luar" Umi menghampiriku dan membujukku masuk ke rumah.
     "Bentar lagi Umi. Aya kangen sama suasana di sini. Umi duduklah dulu di sini. Aya juga kangen sama Umi" Ajakku manja sambil menatap wajah teduh umi. "Umi tau ga, ngeliat wajah Umi, Aya ga pernah ngarasa sakit. Umi selalu nguatin Aya" Senyumku pada Umi.
      Ummi tersenyum nampak berusaha menutupi genangan air mata yang mulai terlihat. Ia mengusap kepalaku seperti waktuku kecil. Umi, Aya kangen sekali sama Umi.
Umi duduk di sampingku. Kusandarkan kepalaku pada ketenangan pelukan umi.
     "Umi, maafin Aya. Aya banyak sekali merepotkan Umi." Bisikku dalam hati sambil menatap wajah teduh umi yang memandang kosong batas lautan. 
     Sampai saat ini pun aku masih belum percaya dengan apa yang aku alami. Berharap suatu saat nanti aku bekerja di ruangan serba putih memberi harapan kesembuhan pada asa yang putus, tapi nyatanya adalah asaku yang putus hari ini. 
     Aku tak mengenal dan tak mau mengenal bahkan mengetahui sedikitpun apa yang menyerangku. Aku tau, tubuh ini semakin melemah, keram kepalaku semakin menjadi dalam frekuensi yang cukup sering. Kadang motorikku tidak merespon apa yang aku perintahkan. 
***
     Serangkaian tes kesehatan sudah kujalani. Bekas tusukan jarum masih membekas di fikiranku. Masih ingat jelas satu satu tahun yang lalu kurasakan dinginnya ruangan itu, CT Scan. Tubuhku dimasukan cairan, dingin sekali, tapi tiba-tiba terkaget ketika cairan dingin itu berubah seketika menjadi panas, aku tau jelas saat itulah sistem akan bekerja mencetak kondisi tubuhku, aku sadar kekagetan yang kurasa tak bisa kutolak, aku harus tetap diam. Belum lagi tes-tes lain yang sama mengerikannya. Tapi Umi selalu menguatkanku, "Nak, andai umi bisa gantikan posisimu untuk tes-tes ini" Perkataan itu menyayat hatiku. 
     Aku tersenyum, "Gak apa-apa Umi, ga sakit ko". Ucapku menenangkan umi. 
     Saatnya aku harus tau apa yang aku alami. Umi dan Abi duduk di sampingku. Dokter Ari, dokter seniorku di Rumah Sakit memeriksa hasil tesku. Tampak jelas raut wajahnya berubah khawatir menatap hasil tesku. Sesekali ia menatapku tak percaya.
     "Berapa lama sisa hari yang aku miliki dok?" Tanyaku memecah keheningan. Umi, Abi, dan Dokter Ari terbelalak kaget menatapku.
     "Kamu mengidap ..." 
     "Saya tau Dok. " Nampaknya perkiraanku benar. Tapi inilah obat yang kupilih, aku takut sakit ini mensugestiku ketika aku kenal ia lebih jauh. "Berapa sisaku?" Tanyaku lagi.
    "Sudah cukup parah Aya. Rata-rata 6 bulan Aya." Vonis dokter mengagetkan Abi dan Umi. Umi menggenggam tanganku kuat. Aku tau ia mencoba menguatkanku di tengah hatinya yang juga terpuruk. Abi menatapku getir, ia menepuk pundakku. Sama seperti Umi.
     "Tapi tenang aja banyak juga ko yang bisa bertahan sampai satu tahun atau bahkan lebih. Apalagi Aya seorang dokter yang juga mengerti masalah ini" Lanjut dokter Ari. Aku hanya tersenyum getir membendung air mata.
     "Aya sakit apa dok?" Tanya Abi pada Dokter Ari.
     Dokter Ari menatapku, berharap memperoleh arahan apa yang harus ia katakan. "Kasih tau saja Dok. Umi Abi berhak tau. Tapi maafin Aya Umi, Abi, Aya merasa Aya lebih baik untuk tidak tau. Aya pamit keluar" Pintaku langsung meninggalkan ruangan.
     Bukan lari dari kenyataan, tapi aku ga sanggup kalau harus ngeliat umi dan abi sedih. Cukuplah aku tau berapa sisa hariku, cukuplah aku tau aku sakit, aku gak mau sakit ini mensugestiku lebih dalam kalau aku ada dalam masa menanti ajalku terjebak dalam sakitku.  
     Umi dan abi menghampiriku satu jam kemudian di taman Rumah Sakit. Tangisku meledak saat itu. Tangan hangat Abi menepuk pundakku, berkata dalam kelemahan tepukannya untuk menenangkanku. Umi duduk di sampingku.
    "Umi maafin Aya." Tangisku memeluk umi.
    "Gak apa-apa sayang. Ini pertanda sayang dari Allah." Umi menenangkanku dalam tangisnya yang juga meledak.
    "Kenapa harus Aya?" Pertanyaan ini spontan terucap dariku.
    "Kenapa harus Aya? Karena kamu berbeda dengan yang lain. Karena kamu kuat. Karena kamu kuat. Karena Allah yakin kamu kuat. Ini bukti cinta-Nya sayang" Abi berucap masih dengan kegetirannya. "Sabar sayang, ikhlas. Masih ada harapan. Ga ada masalah tanpa penyelesaian."
***
     Keadaan kesehatanku makin memburuk satu tahun ini. Namun begitu, aku tetap bersyukur atas tambahan waktu yang diberikan dari vonis dokter sebelumnya. Memang kematian adalah sesuatu yang pasti, tapi hanya Allah yang tau waktunya.  Aku mulai merajut harapan, dan menerima takdir-Nya. Bukan karena aku tak bisa lari, tapi lebih karena aku percaya akan wujud kasih sayang-Nya. Mungkin memang karena aku teramat sangat merindukan-Nya.
     Sudah satu bulan aku berhenti bekerja. Aku sangat merindukan suasana di rumah sakit. Memberikan semangat pada harapan yang putus adalah obat yang paling mujarab bagi diriku sendiri. Tapi sayang, kondisiku tak mungkin untuk berada di sana seperti dulu. Aku memilih pulang, menikmati hariku dengan keluargaku, yang mungkin bisa jadi hari terakhirku.
      "Ayo pulang, udah mau maghrib" Abi datang menyusul kami.
      "Bentar Abi. Bentar lagi ya, Aya kangen sama suasana pantai sore hari. Di Bandung mana ada ini. Cuma ada di sini." Ucapku manja. Abipun luluh dan duduk di sampingku.
    Kubaringkan di atas pangkuan umi. "Umi, Abi, maafin Aya ya. Tidur dipangkuan umi nyaman banget sih." 
    "Abi, adek-adek lagi apa di rumah?" Lanjutku bertanya pada Abi.
    "Tadi sih lagi nyiapin makan." 
    "Ya ampuun, maap ya. Harusnya Aya bisa bantu. Salam buat adek-adek ya Abi" Lagi-algi Abi dan Umi tersentak mendengar ucapan spontanku.
     Kuraih tanga umi dan abi. Kunikmati sejuknya angin sore dan senja kemerahan. Hening damai, suara camar yang terdengar. Dunia ini begitu indah. Sayang aku tak bisa lama di sini. Kutemui senjaku untuk kujumpai malamku yang berbeda. 
    Pelan-pelan suara camar itu semakin samar hingga sampai pada titik hilangnya. Perlahan lemah aku lepaskan genggaman orang tuaku. Perlahan aku temui mimpiku. Membukanya dengan syahadat. Mimpi indahku. Aku berjalan ringan di ruangan serba putih dengan seragam kesayanganku, menyusuri lorong-lorong dengan pintu yang tertutup. Berhenti di depan ruangan yang sangat kukenal bertuliskan "dr. Khansa Fitriyah, Sp.S". Ruangan itu kosong, tapi sangat damai. Terpasang foto keluargaku, umi, abi, adik-adikku, Reihan dan Hani tersenyum dibalik kaca bingkai.
      "Apa kabarnya Umi, Abi, Dek Reihan dan Hani? Aya udah sembuh. Aya sudah sehat. Aya bakal kangen sama kalian. Aya sayang kalian."
      Perlahan lorong ini berubah, menjauh, menjauh, menjauh. Asing dan semakin asing latar tempatku kini. Tak kudengar apapun. Tapi aku merasa jauh lebih baik. 
    
    


0 komentar:

Posting Komentar

 

About